Selamat Datang di Blog Seksi Pemolaan Kawasan Hutan - Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah II

Kamis, 05 Juli 2007

Pelatihan Juru Ukur Baplan Kehutanan 2007

Pada awal bulan april 2007 BAPLAN (Badan Planologi) Kehutanan beserta dengan Pusdiklat Kehutanan (Widyaiswara) mengadakan Pelatihan pengukuhan kawasan hutan Angkatan II dan III dengan memperkenalkan teknologi Total Station dan GPS untuk para staf BPKH dan BAPLAN Pusat. KK Geodesi FTSL ITB turut diminta bantuannya sebagai pemateri dan instruktur pada pelatihan ini. Peserta pelatihan dari angkatan II dan III seluruhnya berjumlah 36 orang. Pelatihan dilaksanakan rencananya sekitar 2 bulan. Materi teori dan praktikum lapangan serta pengolahan data menggunakan komputer diberikan dengan porsi sekitar 30 % 70%. Program pelatihan yang dibuat meliputi teknik pemanfaatan alat ukur digital Total Station, teknik pengoperasiannya untuk pengukuhan kawasan hutan, pengenalan dasar teknologi GPS, kemudian program pengoperasian peralatan GPS, baik tipe navigasi dan juga tipe geodetik. Selanjutnya juga pada pelatihan ini dilakukan pengenalan manajemen survey TS dan GPS, dan simulasi survey GPS untuk pengadaan titik kontrol geodetik, dan poligon dengan Total Station.

Untuk pengenalan teori materi pelatihan, pelaksanaan kuliah dilakukan di kelas PUSDIKLAT KEHUTANAN daerah gunung batu Bogor. Sementara itu pelaksanaan praktek dilakukan di tiga tempat, masing-masing di Pusdiklat Kehutanan, di CIFOR dan di TNGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango). Berikut ini adalah hasil dokumentasi.

gps-ets03.JPG gps-ets02.JPG gps-ets04.JPG gps-ets05.JPG

dsci0119.JPG dsci0114.JPG dsci0122.JPG dsci0166.JPG

Bentuk praktikum yang di laksanakan di CIFOR yaitu melakukan simulasi pemetahan batas kawasan hutan CIFOR menggunakan GPS dan Total Station. Peserta pelatihan dibagi menjadi 4 kelompok untuk angkatan II dan 3 kelompok untuk angkatan III. Total keliling area yang dipetakan sekitar 3 kilometer. Diharapkan keterampilan penggunaan alat baik GPS maupun Total Station mulai terbentuk pada praktikum di CIFOR ini.

Sementara itu praktikum yang akan dilaksanakan di Cibodas TNGP pada tanggal 13-21 mei 2007 akan berupa simulasi pemetaan kawasan batas hutan menggunakan GPS dan Total Station, dengan area hutan mirip area sebenarnya ketika nantinya terjun langsung mengaplikasikan sistem ini di lapangan. Diharapkan dengan simulasi yang mendekati kenyataan nantinya dilapangan akan memberikan pemahaman wawasan ilmu yang lebih lagi.

Pengajar dan instruktur dalam pelatihan ini berasal dari KK Geodesi FTSL dan Widyaiswara, selengkapnya sebagai berikut: Hasanuddin Z Abidin, Bambang Subekti, Kosasih Prijatn,Dina Angreni Sarsito, Heri Andreas, Mohamad Gamal, Sella Lestari Nurmaulia, Irwan Gumilar, Teguh Purnama Sidiq, beberapa asisten dari mahasiswa tingkat akhir prodi Geodesi dan Geomatika ITB dan Burhanudin (Widyaiswara). Sementara itu koordinator panitia pelaksanaan pelatihan juru ukur ini dipegang oleh Bapak Agustiana dari Baplan Kehutanan.

Pelatihan Juru Ukur Baplan Kehutanan 2006

Pada akhir tahun 2006 KK Geodesi ITB bekerjasama dengan BAPLAN (Badan Planologi) Kehutanan dan Pusdiklat Kehutanan (Widyaiswara) mengadakan kerjasama Pelatihan pengukuhan kawasan hutan dengan memperkenalkan teknologi Total Station dan GPS untuk para staf BPKH dan BAPLAN Pusat. Peserta pelatihan sebanyak 20 orang. Pelatihan dilaksanakan cukup lama yaitu kurang lebih sekitar 2 bulan. Materi teori dan praktikum lapangan serta pengolahan data menggunakan komputer diberikan dengan porsi sekitar 30 % 70%

picture-016.jpgpicture-017.jpgpicture-018.jpgpicture-020.jpgpicture-022.jpg

Program pelatihan yang dibuat meliputi teknik pemanfaatan alat ukur digital Total Station, teknik pengoperasiannya untuk pengukuhan kawasan hutan, pengenalan dasar teknologi GPS, kemudian program pengoperasian peralatan GPS, baik tipe navigasi dan juga tipe geodetik. Selanjutnya juga pada pelatihan ini dilakukan pengenalan manajemen survey TS dan GPS, dan simulasi survey GPS untuk pengadaan titik kontrol geodetik, dan poligon dengan Total Station.

Untuk pengenalan teori materi pelatihan, pelaksanaan kuliah dilakukan di kelas PUSDIKLAT KEHUTANAN daerah gunung batu Bogor. Sementara itu pelaksanaan praktek dilakukan di tiga tempat, masing-masing di Pusdiklat Kehutanan, di CIFOR dan di TNGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango).

Praktikum yang dilakukan di Pusdiklat berupa pengenalan alat GPS tipe Navigasi dan tipe Geodetik. Peserta diajarkan bagaimana cara pengoperasian kedua tipe alat tersebut, bagaimana cara menentukan posisi, mencari posisi, dan lain-lain. Bentuk praktikum yang di laksanakan di CIFOR yaitu melakukan simulasi pemetahan batas kawasan hutan CIFOR menggunakan GPS dan Total Station. Sementara itu praktikum yang dilaksanakan di TNGP berupa simulasi pemetaan kawasan batas hutan menggunakan GPS dan Total Station, dengan area hutan mirip area sebenarnya ketika nantinya terjun langsung mengaplikasikan sistem ini di lapangan.

Pengajar dan instruktur dalam pelatihan ini berasal dari KK Geodesi dan Widyaiswara, selengkapnya sebagai berikut: Hasanuddin Z Abidin, Bambang Subekti, Kosasih Prijatn,Dina Angreni Sarsito, Heri Andreas, Mohamad Gamal, Sella Lestari Nurmaulia, Irwan Gumilar, Teguh Purnama Sidiq, Burhanudin (Widyaiswara), dan Arif Bastaman (Widyaiswara).

Rabu, 04 Juli 2007

Test Kemampuan Sinyal GPS di Bawah Ragam Tutupan Kanopi

Sebagai langkah lanjut kegiatan studi penerapan teknologi GPS (Global Positioning System) di bidang kehutanan, maka diadakan pengujian pengamatan GPS di bawah ragam tutupan Kanopi. Tahun lalu telah dilakukan test sinyal GPS di bawah kanopi lebat, sementara pada tahun ini test dilakukan di beberapa ragam tutupan kanopi, dengan tujuan untuk melihat kemampuan sinyal GPS versus persentase tutupan kanopi. Teknik Pengujian GPS di bawah ragam kanopi ini dilakukan dengan metode static diferensial moda radial. Satu titik ditempatkan sebagai base di suatu titik kontrol di daerah terbuka yang memungkinkan sinyal teramati dengan baik, kemudian titik lainnya ditempatkan di bawah ragam kanopi yang kemungkinan sinyal GPS akan mengalami halangan. Alat GPS yang digunakan terdiri dari 3 receiver GPS dual frekuensi masing-masing dengan merk LEICA, TOPCON, dan SOKKIA. Berikut di bawah ini dapat dilihat dokumentasi kegiatan test kemampuan sinyal GPS di bawah ragam tutupan Kanopi.

dscn0004.JPG dscn0005.JPG dscn0007.JPG dscn0008.JPG

KK Geodesi FTSL ITB dipercaya sebagai koordinator dalam pelaksanaan test kemampuan sinyal GPS di bawah ragam tutupan kanopi ini. Acara yang melibatkan Baplan Kehutanan dan beberapa vendor alat ukur dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Acara ini dilaksanakan berbarengan dengan acara puncak pelaksanaan pelatihan Juru Ukur Pemantapan kawasan hutan tahun 2007. Data GPS diambil masing masing selama 2 jam setiap sesi pengamatan yang di bagi di tempat yang memiliki tutupan kanopi 40 %, 50% dan 70%.

Data-data GPS hasil pengamatan tersebut sekarang sedang di olah dengan menggunakan beberapa software GPS untuk melihat kualitas data, hasil koordinat beserta ketelitiannya. Hasil-hasil tersebut nantinya akan menjadi masukan bagi kepentingan pemanfaatan GPS di bidang kehutanan. Memang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa GPS akan dibutuhkan di dalam bidang kehutanan, namun mempunyai permasalahan dalam hal kemampuan sinyal dalam keberadaan hutan yang notabene sangat rimbun yang dapat menghambat sinyal satelit GPS untuk sampai di receiver. Kegunaan GPS yang paling penting adalah sebagai titik kontrol dalam melakukan pemetaan hutan, seperti contohnya pemetaan batas hutan. Diharapkan melalui studi kemampuan sinyal GPS di bawah ragam tutupan kanopi akan memberikan parameter kemampuan tembusan sinyal GPS terbaik dalam situasi yang buruk untuk saat ini.

Dengan adanya modernisasi GPS kelak yang akan dilakukan oleh pihak pemilik GPS Amerika Serikat, maka dimungkinkan kemampuan sinyal GPS akan lebih baik lagi dalam melawan ragam tutupan kanopi. Dengan modernisasi yang akan dilakukan, sinyal GPS akan diperkuat, frekuensi GPS akan di tambah dengan hadirnya L5, juga data-data code L2C dan kode militer juga akan di tambahkan. Mungkin kedepannya kita tidak akan memiliki masalah berarti seperti sekarang ini ketika melakukan pengamatan GPS di bawah tutupan Kanopi.

Tes kemampuan sinyal GPS di bawah kanopi

Untuk keperluan studi penerapan teknologi GPS (Global Positioning System) di bidang kehutanan, terutama di areal tutupan hutan yang lebat maka diadakan pengujian pengamatan GPS di bawah Kanopi, kemudian dilakukan pengolahan data dan analisis. Teknik Pengujian GPS di bawah kanopi ini dilakukan dengan metode static diferensial moda radial. Satu titik ditempatkan sebagai base di suatu titik kontrol di daerah terbuka yang memungkinkan sinyal teramati dengan baik, kemudian dua titik ditempatkan di bawah kanopi yang kemungkinan sinyal GPS akan mengalami halangan. Alat yang digunakan terdiri dari 4 receiver GPS dual frekuensi masing-masing dengan merk TRIMBLE, LEICA, TOPCON, dan SOKKIA.

Program Pengujian GPS di bawah kanopi ini dilaksanakan oleh Pihak BAPLAN Kehutanan bekerjasama dengan KK GEODESI FTSL ITB, dan pihak Vendor masing-masing merk GPS yang di uji. Tempat pengujian di Taman Nasional Gede Pangrango.

Metode Pengamatan (tes kemampuan GPS di bawah Kanopi)

Pada pekerjaan Pengujian GPS di bawah kanopi dilakukan survei GPS metoda statik dengan lama pengamatan sekitar 45 menit dengan banyaknya titik amat di bawah Kanopi yaitu 2 buah pilar. Receiver GPS yang di cek yaitu sebanyak 4 receiver GPS dual frekuensi masing-masing merk TRIMBLE, LEICA, TOPCON, dan SOKKIA. Kemudian satu buah receiver digunakan sebagai referensi, yang ditempatkan di daerah terbuka yang memungkinkan sinyal teramati dengan baik.

Pelaksanaan pengamatan dan Pengolahan Data

Pelaksanaan program pengujian alat GPS di bawah Kanopi dilakukan selama 1 hari (tanggal 16 Desember 2006). Metode pengamatan yaitu survei GPS metoda statik dengan lama pengamatan sekitar 45 menit dengan interval epok sebesar 15 detik serta sudut elevasi 150, dengan banyaknya titik amat di bawah Kanopi yaitu 2 buah pilar. Receiver GPS yang di cek yaitu sebanyak 4 receiver GPS dual frekuensi masing-masing merk TRIMBLE, LEICA, TOPCON, dan SOKKIA. Kemudian satu buah receiver digunakan sebagai referensi, yang ditempatkan di daerah terbuka yang memungkinkan sinyal teramati dengan baik. Tempat pengujian di Taman Nasional Gede Pangrango. Sementara itu pengolahan data menggunakan software Ski Pro versi 2.1.

Di bawah ini adalah gambar dokumentasi dari tim penguji alat GPS di Kanopi - dari BAPLAN Kehutanan, KK Geodesi FTSL ITB, dan vendor alat GPS Trimble, Leica, Topcon, serta Sokkia

gpskanopi07.JPGgpskanopi06.JPG gpskanopi05.JPG gpskanopi04.JPG

Gambar di bawah ini menunjukkan seting Peralatan GPS di bawah kanopi pohon. Terlihat tutupan kanopi cukup rapat yang memungkinkan sinyal GPS dari satelit akan terhalang dan bahkan mungkin tidak di terima dengan baik oleh receiver.

gpskanopi03a.JPG gpskanopi03b.JPG dsc05716.JPGgpskanopi02.JPG

Hasil pengujian sinyal GPS di bawah Kanopi Pohon

Dari hasil pengolahan data diperoleh solusi nilai koordinat dengan ambiguitas resolved dan ambiguitas tidak resolved. Selisih koordinat yang dihasilkan dari pengolahan data dari masing-masing alat yang diuji di titik uji pertama memperlihatkan perbedaan ada yang mencapai fraksi meter, dan ada juga yang sentimeter. Sementara selisih koordinat di titik uji kedua memperlihatkan perbedaan ada yang mencapai fraksi meter, dan bahkan ada yang belasan meter, dan ada juga yang desimeter.

Hasil yang ditunjukkan oleh dua alat receiver yang dijui yang memperlihatkan ambiguitas fase dapat terpecahkan dan perbedaan koordinatnya yang cukup kecil (level sentimeter untuk titik uji pertama, kemudian perbedaan koordinat dalam level desimeter untuk titik uji kedua (ambiguitas tidak resolved) dapat dijadikan indikator awal hasil pengamatan sinyal yang tidak terlalu jelek dan hasil koordinat pengolahan data yang nilainya cukup teliti yang dihasilkan oleh kedua receiver ini, meski penempatan titik dilakukan di bawah kanopi pohon yang menghalangi sinyal dari satelit ke receiver.

Namun demikian, hasil ini masih bersifat sementara dan perlu penelitian lebih lanjut lagi, karena data yang diambil dilapangan ketika uji coba tidak terlalu lama. Seharusnya kita melakukan pengamatan yang lebih lama lagi untuk masing-masing jenis receiver, sehingga kita dapat melihat lebih jelas lagi konsistensi hasil akhir yang didapat oleh masing-masing alat yang diuji coba. Selain itu pengolahan data dengan masing-masing software yang dipunyai masing-masing merk receiver juga akan menambah point analisis dalam uji coba in

Satelit Galileo

gstb512.jpg SATELLITE BASE POSITIONING - GPS COMPETITER

Satelit Galileo merupakan sistem satelit navigasi global Eropa yang pertama dengan tingkat akurasi yang tinggi dan dikontrol dan dikelola oleh pihak sipil Uni Eropa. Adapun tujuan Uni Eropa untuk menciptakan satelit baru ini adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian GPS dan untuk dapat bersaing dalam dunia persatelitan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu secara kontinyu di seluruh dunia tanpa bergantung pada waktu dan cuaca kepada banyak orang secara simultan. Satelit ini masih baru dan mulai diluncurkan pada tahun 2005, dan akan beroperasi secara penuh pada tahun 2008. Pada prinsipnya penentuan posisi dengan satelit Galileo hampir sama dengan penentuan posisi dengan GPS. Kedua satelit navigasi ini hanya berbeda pada spesifikasi dan kemampuannya.

————————————————————————————————————————————————-

Komponen Sistem Satelit Galileo

Secara umum ada tiga komponen penyusun sistem Galileo yaitu komponen angkasa (space segment), komponen kontrol bumi (ground segment), dan komponen pengguna (user segment).

Segmen angkasa Galileo terdiri dari 30 satelit, dimana terdapat 27 satelit yang aktif dan 3 satelit cadangan (spare) dalam Medium Earth Orbit (MEO) pada ketinggian 23600 km. Satelit akan melakukan perjalanan sepanjang tiga orbit sirkular pada inklinasi 56°. Dengan waktu orbit 14 jam, konfigurasi dari konstelasi akan menjamin sekurang-kurangnya 10 satelit yang kelihatan akan memberikan informasi posisi dan waktu untuk semua lokasi, termasuk daerah kutub. Wahana Satelit Galileo diharapkan akan dapat bertahan selama 10 tahun.

Segmen angkasa akan diatur lewat dua stasiun kontrol yang dipilih di suatu tempat di Eropa, yang didukung oleh 20 stasiun sensor Galileo (GSS). Pertukaran data antara stasiun kontrol dan satelit akan dikerjakan melalui stasiun penghubung khusus. Sebanyak 15 stasiun penghubung akan dipasang di sekitar permukaan bumi untuk memudahkan dalam hal transfer data. Sebagai komponen kontrol bumi (ground segment), stasiun kontrol akan bertanggungjawab memanajemen satelit, mengintegrasikan sinyal, dan sinkronisasi jam atom pada satelit.

Segmen pengguna terdiri dari para pengguna satelit Galileo, baik di darat, laut, udara, maupun di angkasa. Dalam hal ini alat penerima sinyal Galileo diperlukan untuk menerima dan memproses sinyal -sinyal dari satelit Galileo untuk digunakan dalam penentuan posisi, kecepatan dan waktu. Komponen utama dari suatu receiver Galileo secara umum adalah antena dengan pre-amplifier, bagian RF dengan pengidentifikasi sinyal dan pemroses sinyal, pemroses mikro untuk pengontrolan receiver, data sampling dan pemroses data ( solusi navigasi ), osilator presisi , catu daya, unit perintah dan tampilan, dan memori serta perekam data.

————————————————————————————————————————————————-

Sinyal Satelit Galileo

Satelit Galileo akan menstransmisikan 10 sinyal yang berbeda. Dari sini, 6 sinyal akan digunakan untuk keperluan sipil (Open Service) dan Safety of Life Service, 2 sinyal untuk keperluan komersial dan sisanya 2 untuk keperluan Public Regulated Service. Selain pelayanan navigasi dan transmisi waktu, Galileo akan menyediakan informasi mengenai akurasi dan status sinyal tersebut.

————————————————————————————————————————————————-

Tipe Receiver Satelit Galileo

Mengenai receiver Galileo, belum ada keputusan akhir tentang spesifikasi dan kemampuan receiver Galileo melainkan sekarang sedang dikembangkan untuk dapat bersaing dengan GPS. Analisis pasar memberikan klasifikasi pendahuluan tentang tipe receiver Galileo yaitu: Tipe konsumen, Tipe profesional, dan Tipe Safety of Life.

Tipe konsumen sendiri terdiri dari dua jenis yaitu A1 dan A2. Jenis A1 berdiri sendiri yang merupakan receiver navigasi utama Galileo, dan A2 digunakan untuk bantuan komunikasi (NAV/COM).

Tipe profesional terdiri dari empat jenis yaitu B1 (Single frequency ditambah Local Element (LE)), B2 (Dual frequency ditambah LE), B3 (Triple frequency ditambah LE), dan B4 (Single frequency ditambah bantuan komunikasi).

Sementara itu Tipe Safety of Life terdiri dari dua jenis yaitu C1 dan C2. Jenis C1 merupakan receiver yang memiliki spesifikasi Dual frequency plus LE (+EGNOS) with integrity. Jenis C2 memiliki spesifikasi Triple frequency plus LE (+EGNOS) with integrity.

————————————————————————————————————————————————-

Kemampuan layanan Sistem Satelit Galileo

Ada 5 macam layanan atau jasa yang rencananya akan diberikan sistem satelit Galileo ini, yaitu:
1) Pelayanan Terbuka (Open Service atau OS)
OS ini adalah bebas dan menyediakan pelayanan seperti GPS tetapi dengan akurasi yang lebih tinggi. Dalam hal ini, ESA berperan aktif dalam mengintegrasikan Galileo dengan sistem GSM/UMTS. OS ini ditetapkan sebagai pasar sinyal besar-besaran untuk informasi waktu dan posisi yang tersedia dengan gratis. OS ini dapat diperoleh oleh semua orang yang dilengkapi dengan receiver tanpa pemberian hak.
2) Pelayanan Keselamatan Hidup (Safety of Life Service atau SLS)
SLS ini akan digunakan untuk aplikasi transportasi yang mana dapat membahayakan hidup jika penampilan sistem navigasi menurun tanpa pemberitahuan dengan real-time.
3) Pelayanan Komersial (Commercial Service atau CS)
CS ini diperuntukkan untuk aplikasi pasar (komersial) dengan pelayanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh Open Service. Layanan ini tidak gratis melainkan user harus membayar jasa pelayanan artinya jika pengguna ingin mendapatkan informasi posisi dan waktu secara real-time, maka pengguna harus membayar sebesar biaya yang telah ditetapkan.
4) Pelayanan Publik (Public Regulated Service atau PRS)
Galileo ini merupakan suatu system sipil yang memuat layanan pengontrolan akses untuk aplikasi pemerintahan. PRS ini akan digunakan oleh suatu badan atau instansi seperti kepolisisan dan departemen-departemen
5) Layanan Pencarian dan Pertolongan (Search and Rescue Service atau SAR)
SAR ini memberikan kontribusi Eropa dalam dunia internasional dalam usaha pemberian bantuan dan pertolongan kemanusiaan.

————————————————————————————————————————————————-

Kelebihan dan Keuntungan Sistem Satelit Galileo

Galileo ini merupakan satelit yang dirancang khususnya untuk keperluan non-militer. Bila dibandingkan dengan satelit navigasi lainnya seperti GPS dan GLONASS, satelit Galileo ini mempunyai beberapa keuntungan dan kelebihan antara lain:

- Satelit Galileo didesain dan dikembangkan untuk aplikasi non-militer, sebaliknya GPS didesain terutama untuk aplikasi militer.
- Galileo didasarkan pada teknologi yang sama seperti GPS dan menyediakan informasi posisi dan waktu dengan tingkat presisi yang lebih tinggi.
- Galileo lebih dapat dipercaya meliputi suatu signal “pesan” yang memberitahu user dengan seketika apabila terjadi suatu kesalahan
- Satelit Galileo terbuka dan meluas ke seluruh pasar yang meliputi seluruh dunia dan perusahaan-perusahaan komersil Eropa
- Galileo memberikan pelayanan nyata bagi publik seperti pemberian garansi yang kontinyu yang ditetapkan untuk aplikasi khusus
- Galileo telah menciptakan 140 000 job dan mampu menggerakkan pasar yang diperkirakan mencapai €9 billion per tahun. Ini lebih rendah dibandingkan ketergantungan Eropa terhadap GPS untuk keperluan ekonomi.

————————————————————————————————————————————————-

Aplikasi Teknologi Satelit Galileo

Sistem Satelit Galileo dibangun mirip dengan sistem GPS, oleh karenanya aplikasi dari sistem Galileo akan menyerupai aplikasi dari sateli GPS. Gambaran umum yang diberikan sistem satelit Galileo untuk bidang aplikasi diantaranya diperuntukan bagi kepentingan transportasi, keperluan penerbangan (aviation), aplikasi maritim, pekerjaan teknik sipil, perikanan, pertanian (precise farming), monitoring lingkungan. referensi waktu dan telekomunikasi.

Bidang-bidang lainnya yang menjadi aplikasi sistem Galileo, sama halnya dengan sistem GPS yaitu: survai pemetaan, geodinamika, geodesi, geologi, geofisik, pemantauan deformasi, , dan bahkan juga bidang olahraga dan rekreasi

Teknologi GPS





HIGH TECH SATELLITE POSITIONING - SOUVERNIR ABAD 21


GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia tanpa bergantung waktu dan cuaca, bagi banyak orang secara simultan. Saat ini GPS sudah banyak digunakan orang di seluruh dunia dalam berbagai bidang aplikasi yang menuntut informasi tentang posisi, kecepatan, percepatan ataupun waktu yang teliti. GPS dapat memberikan informasi posisi dengan ketelitian bervariasi dari beberapa millimeter (orde nol) sampai dengan puluhan meter.

————————————————————————————————————————————————–

Kemampuan GPS

Beberapa kemampuan GPS antara lain dapat memberikan informasi tentang posisi, kecepatan, dan waktu secara cepat, akurat, murah, dimana saja di bumi ini tanpa tergantung cuaca. Hal yang perlu dicatat bahwa GPS adalah satu-satunya sistem navigasi ataupun sistem penentuan posisi dalam beberapa abad ini yang memiliki kemampuan handal seperti itu. Ketelitian dari GPS dapat mencapai beberapa mm untuk ketelitian posisinya, beberapa cm/s untuk ketelitian kecepatannya dan beberapa nanodetik untuk ketelitian waktunya. Ketelitian posisi yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor yaitu metode penentuan posisi, geometri satelit, tingkat ketelitian data, dan metode pengolahan datanya.

————————————————————————————————————————————————–

Produk yang diberikan GPS

Secara umum produk dari GPS adalah posisi, kecepatan, dan waktu. Selain itu ada beberapa produk lainnya seperti percepatan, azimuth, parameter attitude, TEC (Total Electron Content), WVC (Water Vapour Content), Polar motion parameters, serta beberapa produk yang perlu dikombinasikan dengan informasi eksternal dari sistem lain, produknya antara lain tinggi ortometrik, undulasi geoid, dan defleksi vertikal.

————————————————————————————————————————————————–

Segmen Penyusun Sistem GPS

Secara umum ada tiga segmen dalam sistem GPS yaitu segmen sistem kontrol, segmen satelit, dan segmen pengguna.

Satelit GPS dapat dianalogikan sebagai stasiun radio angkasa, yang diperlengkapi dengan antena-antena untuk mengirim dan menerima sinyal –sinyal gelombang. Sinyal-sinyal ini selanjutnya diterima oleh receiver GPS di/dekat permukaan bumi, dan digunakan untuk menentukan informasi posisi, kecepatan, maupun waktu. Selain itu satelit GPS juga dilengkapi dengan peralatan untuk mengontrol attitude satelit. Satelit-satelit GPS dapat dibagi atas beberapa generasi yaitu ; blok I, blok II, blok IIA, blok IIR dan blok IIF. Hingga april 1999 ada 8 satelit blok II, 18 satelit blok II A dan 1 satelit blok II R yang operasional.

Secara umum segmen sistem kontrol berfungsi mengontrol dan memantau operasional satelit dan memastikan bahwa satelit berfungsi sebagaimana mestinya

Segmen pengguna terdiri dari para pengguna satelit GPS di manapun berada. Dalam hal ini alat penerima sinyal GPS ( GPS receiver ) diperlukan untuk menerima dan memproses sinyal -sinyal dari satelit GPS untuk digunakan dalam penentuan posisi, kecepatan dan waktu. Komponen utama dari suatu receiver GPS secara umum adalah antena dengan pre-amplifier, bagian RF dengan pengidentifikasi sinyal dan pemroses sinyal, pemroses mikro untuk pengontrolan receiver, data sampling dan pemroses data ( solusi navigasi ), osilator presisi , catu daya, unit perintah dan tampilan, dan memori serta perekam data.

————————————————————————————————————————————————–

Prinsip penentuan posisi dengan GPS

Prinsip penentuan posisi dengan GPS yaitu menggunakan metode reseksi jarak, dimana pengukuran jarak dilakukan secara simultan ke beberapa satelit yang telah diketahui koordinatnya. Pada pengukuran GPS, setiap epoknya memiliki empat parameter yang harus ditentukan : yaitu 3 parameter koordinat X,Y,Z atau L,B,h dan satu parameter kesalahan waktu akibat ketidaksinkronan jam osilator di satelit dengan jam di receiver GPS. Oleh karena diperlukan minimal pengukuran jarak ke empat satelit.

————————————————————————————————————————————————–

Tipe alat (Receiver ) GPS

Ada 3 macam tipe alat GPS, dengan masing-masing memberikan tingkat ketelitian (posisi) yang berbeda-beda. Tipe alat GPS pertama adalah tipe Navigasi (Handheld, Handy GPS). Tipe nagivasi harganya cukup murah, sekitar 1 - 4 juta rupiah, namun ketelitian posisi yang diberikan saat ini baru dapat mencapai 3 sampai 6 meter. Tipe alat yang kedua adalah tipe geodetik single frekuensi (tipe pemetaan), yang biasa digunakan dalam survey dan pemetaan yang membutuhkan ketelitian posisi sekitar sentimeter sampai dengan beberapa desimeter. Tipe terakhir adalah tipe Geodetik dual frekuensi yang dapat memberikan ketelitian posisi hingga mencapai milimeter. Tipe ini biasa digunakan untuk aplikasi precise positioning seperti pembangunan jaring titik kontrol, survey deformasi, dan geodinamika. Harga receiver tipe geodetik cukup mahal, mencapai ratusan juta rupiah untuk 1 unitnya.

————————————————————————————————————————————————–

Sinyal dan Bias pada GPS

GPS memancarkan dua sinyal yaitu frekuensi L1 (1575.42 MHz) dan L2 (1227.60 MHz). Sinyal L1 dimodulasikan dengan dua sinyal pseudo-random yaitu kode P (Protected) dan kode C/A (coarse/aquisition). Sinyal L2 hanya membawa kode P. Setiap satelit mentransmisikan kode yang unik sehingga penerima (receiver GPS) dapat mengidentifikasi sinyal dari setiap satelit. Pada saat fitur ”Anti-Spoofing” diaktifkan, maka kode P akan dienkripsi dan selanjutnya dikenal sebagai kode P(Y) atau kode Y.

Ketika sinyal melalui lapisan atmosfer, maka sinyal tersebut akan terganggu oleh konten dari atmosfer tersebut. Besarnya gangguan di sebut bias. Bias sinyal yang ada utamanya terdiri dari 2 macam yaitu bias ionosfer dan bias troposfer. Bias ini harus diperhitungkan (dimodelkan atau diestimasi atau melakukan teknik differencing untuk metode diferensial dengan jarak baseline yang tidak terlalu panjang) untuk mendapatkan solusi akhir koordinat dengan ketelitian yang baik. Apabila bias diabaikan maka dapat memberikan kesalahan posisi sampai dengan orde meter.

————————————————————————————————————————————————–

Error Source pada GPS

Pada sistem GPS terdapat beberapa kesalahan komponen sistem yang akan mempengaruhi ketelitian hasil posisi yang diperoleh. Kesalahan-kesalahan tersebut contohnya kesalahan orbit satelit, kesalahan jam satelit, kesalahan jam receiver, kesalahan pusat fase antena, dan multipath. Hal-hal lainnya juga ada yang mengiringi kesalahan sistem seperti efek imaging, dan noise. Kesalahan ini dapat dieliminir salah satunya dengan menggunakan teknik differencing data.

————————————————————————————————————————————————-

Metoda penentuan posisi dengan GPS

Metoda penentuan posisi dengan GPS pertama-tama terbagi dua, yaitu metoda absolut, dan metoda diferensial. Masing-masing metoda kemudian dapat dilakukan dengan cara real time dan atau post-processing. Apabila obyek yang ditentukan posisinya diam maka metodenya disebut Statik. Sebaliknya apabila obyek yang ditentukan posisinya bergerak, maka metodenya disebut kinematik. Selanjutnya lebih detail lagi kita akan menemukan metoda-metoda seperti SPP, DGPS, RTK, Survei GPS, Rapid statik, pseudo kinematik, dan stop and go, serta masih ada beberapa metode lainnya.

————————————————————————————————————————————————–

Ketelitian Posisi yang diperoleh dari Sistem GPS

Untuk aplikasi sipil, GPS memberikan nilai ketelitian posisi dalam spektrum yang cukup luas, mulai dari meter sampai dengan milimeter. Sebelum mei 2000 (SA on) ketelitian posisi GPS metode absolut dengan data psedorange mencapai 30 - 100 meter. Kemudian setelah SA off ketelitian membaik menjadi 3 - 6 meter. Sementara itu Teknik DGPS memberikan ketelitian 1-2 meter, dan teknik RTK memberikan ketelitian 1-5 sentimeter. Untuk posisi dengan ketelitian milimeter diberikan oleh teknik survai GPS dengan peralatan GPS tipe geodetik dual frekuensi dan strategi pengolahan data tertentu.

————————————————————————————————————————————————-

Aplikasi-aplikasi Teknologi GPS

GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi yang paling populer dan paling banyak diaplikasikan di dunia pada saat ini, baik di darat, laut, udara, maupun angkasa. Disamping aplikasi-aplikasi militer, bidang-bidang aplikasi GPS yang cukup marak saat ini antara lain meliputi survai pemetaan, geodinamika, geodesi, geologi, geofisik, transportasi dan navigasi, pemantauan deformasi, pertanian, kehutanan, dan bahkan juga bidang olahraga dan rekreasi. Di Indonesia sendiri penggunaan GPS sudah dimulai sejak beberapa tahun yang lalu dan terus berkembang sampai saat ini baik dalam volume maupun jenis aplikasinya

Pameran Geodesi Geomatika 01 februari 2007

Pada hari kamis tanggal 1 februari 2007 diadakan workshop dan pameran tentang Geodesi dan Geomatika yang diselenggarakan oleh CRS (Center for Remote Sensing) ITB bekerjasama dengan Prodi Geodesi dan Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB. Acara diselenggarakan di Gedung Labtex IXC Program Studi Geodesi & Geomatika - Program Studi Teknik Lingkungan- jalan Ganesha Nomor 10 Bandung. Isi worshop berfokus pada peranan sistem penginderaan Jauh dalam bidang kebumian dan lingkungan. Sementara itu pameran yang memperlihatkan kajian dan implementasi bidang keilmuan Geodesi dan Geomatika diikuti diantaranya oleh masing-masing Kelompok Keilmuan yang ada di lingkungan Geodesi dan Geomatika yaitu KK Inderaja dan sain Sistem Informasi Geografis (KK INSIG), KK Hidrografi, KK Surveying dan Kadaster, dan KK Geodesi. Selain itu LAPAN dan tentunya CRS turut berpartisipasi dalam pameran.

Kegiatan worshop yang disertai pameran ini berkaitan dengan adanya kunjungan dari Sekolah Menengah Atas Santa Karolus Surabaya ke pusat remote sensing di ITB (CRS) dan Prodi Geodesi dan Geomatika. Kegiatan ini sebagai ajang pemberian informasi mengenai CRS dan lingkup Ilmu Geodesi dan Geomatika secara umum.

Ilmu Geodesi dan Geomatika (termasuk di dalamnya remote sensing yang digeluti CRS) serasa masih cukup asing dimata masyarakat kita seperti contohnya bagi siswa-siswi Sekolah Menengah Atas. Padahal apabila telah diketahui dengan cukup baik, bidang ini cukup menarik, dan memiliki peranan cukup penting di bidang-bidang aplikasi di masyarakat. Terlebih lagi dengan adanya teknologi satelit telah membuat bidang keilmuan Geodesi dan Geomatika berkembang lebih pesat lagi. Bahkan di luar negeri bidang Geodesi dan Geomatika sebenarnya termasuk bidang yang cukup populer.

Tema Pameran yang diberikan dari KK Geodesi

KK Geodesi yang merupakan salah satu Kelompok Keilmuan di Lingkungan bidang Geodesi dan Geomatika mengembangkan domain keilmuan meliputi penentuan posisi, penentuan medan gaya berat bumi, dan pemantauan perubahan posisi dan medan gaya berat bumi dalam fungsi spasial dan temporal. Secara spesifik lagi KK Geodesi menggeluti bidang-bidang sistem penentuan posisi dan navigasi menggunakan teknologi Geodesi Satelit, menentukan geoid untuk sistem referensi tinggi, pemantauan dinamika bumi, mitigasi bencana, dan lain-lain. Berkaitan dengan pameran yang diselenggarakan pada tanggal 1 februari 2007 KK Geodesi memberikan tema tentang lingkup kajian KK Geodesi secara umum, dan secara khususnya memfokuskan sub kajian ilmu pemantauan dan mitigasi bencana alam menggunakan teknik Satelit Geodesi. Kasus Semburan lumpur dan land subsidence di Porong Sidoarjo merupakan contoh lingkup kajian yang dipaparkan dan sekarang ini tengah dilakukan oleh KK Geodesi.

Dengan menggunakan teknologi Satelit Geodesi seperti GPS (Global Positioning System) dan InSAR kita dapat membantu upaya pemantauan dan mitigasi dari bencana kebumian seperti gempa bumi, aktivitas vulkanis gunungapi, longsoran tanah, pemantauan land subsidence, pembangunan sistem informasi mitigasi bencana, dan lain-lain.

Geodesi Satelit dan Aplikasinya

eodesi Satelit dapat didefinisikan sebagai sub dari bidang ilmu geodesi yang menggunakan bantuan satelit (alam ataupun buatan manusia) untuk menyelesaikan problem-problem geodesi. Menurut Seeber (1993) Geodesi Satelit meliputi teknik-teknik pengamatan dan perhitungan yang digunakan untuk memecahkan problem-problem geodesi dengan menggunakan pengukuran-pengukuran yang teliti ke, dari, dan antara satelit buatan yang umumnya dekat dengan permukaan bumi. Geodesi satelit memiliki banyak aspek-aspek keilmuan, yang secara umum diantaranya meliputi teori orbit, sinyal dan propagasi, dinamika satelit, sistem waktu, sistem koordinat, dan lain-lain.

launchharvard-edu.jpg alma_artoso-chalmer-se.jpg vlbixjltpcom.jpg gpssatellitecvtcedu.jpg

Perkembangan bidang Geodesi Satelit

Perkembangan bidang geodesi satelit dimulai semenjak diluncurkannya satelit-satelit buatan manusia ke luar angkasa. Satelit buatan manusia yang pertama diluncurkan untuk mengorbit Bumi adalah SPUTNIK 1, yang diluncurkan pada tanggal 4 Oktober 1957 oleh Uni Soviet, dan bertahan hidup sampai awal 1958. SPUTNIK 2, diluncurkan pada tanggal 3 November 1957. Setelah itu pada tanggal 31 Januari 1958, Amerika Serikat meluncurkan satelitnya yang pertama yaitu EXPLORER 1. Dari kacamata geodesi, kontribusi yang signifikan dari sistem satelit dimulai dengan satelit VANGUARD 1 yang diluncurkan oleh Amerika Serikat pada Maret 1958 [Smith, 1997]. Perlu dicatat di sini bahwa satelit geodetik yang sebenarnya adalah satelit ANNA-1B, yang diluncurkan pada tahun 1962 oleh Amerika Serikat. Satelit ini dilengkapi dengan kamera geodetik, pengukur jarak elektronik, serta Doppler. Proyek satelit ANNA ini punya kontribusi ilmiah yang besar dalam pengembangan sistem SLR (Satellite Laser Ranging) selanjutnya. Sampai dengan 19 Januari 2000, jumlah satelit buatan manusia yang telah diluncurkan men-gorbit Bumi adalah 5159 satelit, dimana 2647 masih aktif pada waktu tersebut [ANA,2000].

SISTEM GEODESI SATELIT YANG ADA SAMPAI SAAT INI

Sistem geodesi satelit tertua adalah sistem astronomi geodesi yang berbasiskan pada pengamatan bintang, dan sampai saat ini masih digunakan meskipun terbatas pada aplikasi-aplikasi tertentu saja. Sebagai contoh metode ini telah digunakan sejak 1884 untuk penentuan lintang secara teliti di Potsdam. Disamping itu metode astronomi geodesi ini juga sudah berkontribusi dalam pengamatan pergerakan kutub (polar motion) sejak tahun 1890 (FGS, 1998).

Teknik fotografi satelit merupakan teknik geodesi satelit (buatan) tertua. Metode fotografi satelit ini berbasiskan pada pengukuran arah ke satelit, yaitu dengan pemotretan satelit berlatar bintang-bintang yang telah diketahui koordinatnya. Dengan menggunakan jaringan kamera Baker-Nunn, metode ini telah dimanfaatkan untuk menjejak satelit-satelit buatan generasi awal seperti Sputnik-1 dan 2, Vanguard-1, dan GEOS-1 pada era 1957 sampai awal 1960-an; dan telah berhasil mengestimasi penggepengan serta bentuk “pear-shape” 7 dari Bumi.

Metode LLR (Lunar Laser Ranging) yang berbasiskan pada pengukuran jarak ke Bulan dengan menggunakan sinar laser, mulai berkembang sejak tahun 1969, yaitu sejak ditempatkannya sekelompok reflektor laser di permukaan Bulan oleh misi Apollo 11. Metode yang prinsipnya sama dengan metode SLR (Satellite Laser Ranging) ini, masih digunakan sampai saat ini. Sedangkan metode VLBI (Very Long Baseline Interferometry) yang berbasiskan pada pengamatan gelombang radio yang dipancarkan oleh kuasar pada dua lokasi pengamatan yang berjarak jauh, mulai umum digunakan sejak tahun 1965 dan sampai saat sekarang ini masih dimanfaatkan untuk aplikasi-aplikasi geodetik berketelitian tinggi.

Sistem satelit altimetri yang berbasiskan pada pengukuran jarak muka laut dari satelit dengan menggunakan gelombang radar mulai berkembang pada tahun 1973, dengan diluncurkannya satelit Skylab yang merupakan satelit pertama yang membawa sensor radar altimeter. Sistem satelit altimetri ini terus dimanfaatkan sampai saat ini dengan menggunakan misi-misi satelit terbaru seperti Topex/Poseidon dan Jason, terutama untuk mempelajari karakteristik dan dinamika lautan dan interaksinya dengan fenomena-fenomena atmosfir.

Dalam konteks sistem satelit navigasi, sistem TRANSIT (Doppler) adalah sistem satelit navigasi yang pertama dibangun. Sistem ini didesain pada tahun 1958, dan dinyatakan operasional pada tahun 1964 (untuk pihak militer) dan 1967 (untuk pihak sipil). Pada saat ini sistem satelit ini praktis sudah tidak digunakan lagi, tergantikan oleh sistem-sistem GPS dan GLONASS [Abidin, 2000]. Kalau diringkaskan maka sistem-sistem yang masih banyak dimanfaatkan dalam bidang geodesi satelit saat ini adalah sistem-sistem SLR, LLR, VLBI, satelit altimetri dan satelit navigasi GPS dan GLONASS, InSAR, Satelit Gravimetrik (GOCE, GRACE) dan nanti akan muncul Sateli Galileo.

Beberapa Contoh Aplikasi dari Sistem Geodesi Satelit

Pemanfaatan sistem pengamatan geodesi satelit pada saat ini sangat luas spektrumnya. Spektrum aplikasinya mencakup skala lokal sampai global, dari masalah-masalah teoritis sampai aplikatif, dan juga mencakup matra darat,laut, udara, dan luar angkasa. Contoh beberapa aplikasi geodesi satelit diantaranya untuk bidang aplikasi geodesi global (penentuan parameter-parameter orientasi Bumi,penentuan model dari Bumi, termasuk dimensi dari ellipsoid referensi nya,penentuan model medan gaya berat Bumi, termasuk geoid globalnya,studi-studi geodinamika,pengadaan kerangka referensi global, dan Unifikasi datum-datum geodesi (termasuk datum regional, datum nasional, dan datum lokal)), studi geodinamika (pengadaan jaringan pemantau untuk mempelajari pergerakan lempeng (plate/crustal motions) ataupun sistem sesar (fault system),penentuan parameter-parameter pergerakan kutub (polar motion) dan rotasi bumi (earth rotation), dan penentuan parameter-parameter dari pasang surut bumi), penentuan titik kontrol geodesi (pengadaan kerangka dasar titik-titik kontrol (nasional maupun lokal),pembangunan jaringan titik kontrol 3-D yang homogen,analisa dan peningkatan kualitas dari kerangka titik kontrol terestris yang ada,pengkoneksian kerangka geodetik antar pulau, dan densifikasi dan ekstensifikasi dari jaringan titik kontrol), navigasi dan geodesi kelautan (navigasi dan penjejakan (tracking), baik untuk wahana darat, laut, udara, maupun angkasa,penentuan posisi untuk keperluan survei pemetaan laut (hidrografi, oseanografi, geologi kelautan, geofisika kelautan, eksplorasi, eksploitasi,pengkoneksian antar stasion pasut (unifikasi datum tinggi),penentuan SST (Sea Surface Topography), dan penentuan pola arus dan gelombang).

LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA DEPARTEMEN KEHUTANAN



A. PERKEMBANGAN KEHUTANAN MENJELANG TAHUN 1983

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, mengamanatkan bahwa pengurusan hutan pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan manfaat hutan yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari baik secara langsung maupun tidak langsung, bagi kemakmuran masyarakat.

Pengurusan hutan tersebut dilaksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan, yang mencakup:
1. Pengaturan pemolaan dan penataan kawasan hutan.
2. Pengaturan dan penyelenggaraan pengusahaan hutan.
3. Pengaturan terhadap perlindungan proses ekologi yang mendukung sistem. penyangga kehidupan serta rehabilitasi hutan, tanah dan air.
4. Pengaturan terhadap usaha-usaha terselenggaranya dan terpeliharanya pengawetan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
5. Penyelenggaraan penyuluhan dan pendidikan di bidang kehutanan.

Agar usaha-usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan pengurusan hutan tersebut secara administratif dan teknis dapat terselenggara dengan baik maka diperlukan adanya wadah atau sarana kelembagaan yang dapat menampung seluruh aktivitas kegiatan di bidang kehutanan.

Pada PELITA I, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah pada waktu itu, kelembagaan yang menangani tugas-tugas atau kegiatan di bidang kehutanan berbentuk Direktorat Jenderal, yang secara administratif dan teknis berada di bawah Departemen Pertanian. Melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 168/Kpts-Org/4/1971 ditetapkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Kehutanan, yang terdiri dari:

1. Sekretariat Direktorat Jenderal Kehutanan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu administrasi untuk penyelenggaraan bimbingan, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi seluruh kegiatan dan pekerjaan Direktorat Jenderal.

2. Direktorat Perencanaan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan kegiatan pengumpulan dan penganalisis data, perencanaan program, pengukuhan, penataan dan pemanfaatan, inventarisasi serta evaluasi program sub sektor kehutanan.

3. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan reboisasi dan penghijauan serta persuteraan alam.

4. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Fungsinya adalah sebagai pembantu teknis untuk pembinaan cagar alam, suaka margasatwa, hutan suaka alam, taman wisata, taman buru dan sebagainya.

5. Direktorat Eksploitasi dan Pengolahan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan dan pengembangan eksploitasi dan pengolahan hasil hutan.

6. Direktorat Pemasaran. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan dan pengembangan pemasaran hasil hutan.

7. Lembaga Penelitian Hutan. Lembaga ini berfungsi sebagai pelaksana teknis penelitian hutan, tata air, satwa liar, sutera alam, dan pencegahan serta pembasmian hama dan penyakit.

8. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Lembaga ini berfungsi sebagai pelaksana teknis penelitian teknologi (fisik dan kimiawi), pemasaran dan sarana produksi (tenaga dan alat).

Sejalan dengan usaha pemantapan organisasi di lingkungan Departemen Pertanian dalam rangka peningkatan pelaksanaan tugas pada PELITA II, maka pada tahun 1975 susunan organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Kehutanan, mengalami perubahan pula.

Dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 190/Kpts/Org/5/1975, ditetapkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Kehutanan, yang terdiri dari:

1. Sekretariat Direktorat Jenderal

2. Direktorat Bina Program Kehutanan

3. Direktorat Bina Produksi Kehutanan

4. Direktorat Bina Sarana Usaha Kehutanan

5. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi

6. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam

Dalam struktur organisasi yang baru itu, Lembaga Penelitian Hutan yang semula adalah unsur pelaksana Direktorat Jenderal Kehutanan, dimasukkan ke dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BPPP). Sedang kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, hubungan masyarakat dan penyuluhan dimasukkan ke dalam Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian (BPLPP).

Sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan, organisasi harus dapat menampung perkembangan tugas dan kegiatan yang terjadi. Oleh karena itu, untuk lebih memantapkan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan di sub sektor kehutanan dalam PELITA III, dengan Surat Keputusan No. 453/Kpts/Org/6/1980, Menteri Pertanian mengadakan pemantapan kembali Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Kehutanan.

Berdasarkan Keputusan tersebut Susunan Organisasi Direktorat Jenderal Kehutanan ditetapkan sebagai berikut:
1. Sekretariat Direktorat Jenderal

2. Direktorat Bina Program Kehutanan

3. Direktorat Bina Produksi Kehutanan

4. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi

5. Direktorat Tertib Pengusahaan Hutan

6. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam

Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian tersebut Direktorat Bina Sarana Usaha Kehutanan diubah menjadi Direktorat Tertib Pengusahaan Hutan. Perubahan ini sesuai dengan perkembangan keadaan pada waktu itu, yang menekankan perlunya usaha-usaha pemantapan dalam bidang pengusahaan hutan.

Disamping perangkat tingkat pusat yang berfungsi sebagai unsur pembantu bidang administrasi dan teknis, terdapat pula unsur pelaksana teknis Direktorat Jenderal Kehutanan yang terdiri dari:

1. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dibentuk berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 429/Kpts/Org/7/1978, sebagai unit pelaksana teknis di bidang perlindungan dan pengawetan alam.

2. Balai Planologi Kehutanan (BPK), dibentuk berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 430/Kpts/Org/7/1978, sebagai unit pelaksana teknis bimbingan dan pengamanan sumber serta modal kehutanan.

Selain unsur-unsur tersebut, pelaksanaan tugas-tugas yang berkaitan dengan bidang kehutanan ditangani juga oleh beberapa instansi kehutanan lainnya yang secara administratif berada di luar Direktorat Jenderal Kehutanan, yaitu:

1. Balai Latihan Kehutanan, dan Sekolah Kehutanan Menengah Atas yang merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian, yang khusus menangani kegiatan pendidikan dan latihan kehutanan.

2. Balai Penelitian Hutan (BPH) dan Balai Penelitian Hasil Hutan (BPHH), merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang khusus menangani kegiatan penelitian hutan dan hasil hutan.

3. Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah Tingkat I yang menangani urusan rumah tangga daerah di bidang kehutanan dan tugas-tugas perbantuan dari Direktorat Jenderal Kehutanan.

B. PEMBENTUKAN DEPARTEMEN KEHUTANAN

Pembangunan kehutanan sebagai suatu rangkaian usaha diarahkan dan direncanakan untuk memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya hutan secara maksimal dan lestari. Tujuannya adalah untuk memadukan dan menyeimbangkan manfaat hutan dengan fungsi hutan dalam keharmonisan yang dapat berlangsung secara paripurna.

Dalam pelaksanaannya, yang sejalan dengan semakin berkembangnya usaha-usaha lain dalam pembangunan nasional, pembangunan kehutanan menghadapi berbagai masalah/hambatan yang sangat kompleks. Apabila masalah dan hambatan tersebut tidak ditangani secara menyeluruh, tujuan pembangunan kehutanan akan dapat terganggu.

Berbagai masalah yang berupa ancaman, gangguan, dan hambatan dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, tidak akan dapat terselesaikan secara tuntas apabila penanganannya tidak bersifat strategis, yaitu melalui penanggulangan secara konsepsional dan paripurna dengan sistem manajemen yang dapat menampung seluruh aktivitas kegiatan kehutanan yang sudah semakin meningkat. Dalam kondisi seperti itu maka perlu adanya suatu bentuk administrasi pemerintahan yang sesuai dan memadai, sebagai sarana yang sangat dibutuhkan bagi terlaksananya keberhasilan pembangunan kehutanan.

Instansi kehutanan yang setingkat Direktorat Jenderal dirasakan tidak mampu mengatasi permasalahan dan perkembangan aktivitas pembangunan kehutanan yang semakin meningkat. Beberapa hambatan yang secara administratif mempengaruhi pelaksanaan pembangunan kehutanan antara lain:

1. Ruang lingkup direktorat jenderal sudah terlalu sempit, sehingga banyak permasalahan yang seharusnya ditangani dengan wewenang kebijaksanaan seorang menteri kurang mendapat perhatian. Akibatnya, Direktorat Jenderal Kehutanan sering dihadapkan kepada masalah-masalah hierarkhis, seperti misalnya di dalam melakukan kerjasama dengan instansi-instansi lain yang lebih tinggi tingkatannya.

2. Akibat selanjutnya, barangkali terus ke tingkat yang lebih bawah. Direktorat Jenderal Kehutanan terpaksa banyak mendelegasikan wewenang kepada direktorat melebihi dari yang seharusnya. Maka, direktorat terlibat pula pada tugas-tugas lini dan tugas-tugas lintas sektoral/sub sektoral, yang memang banyak terjadi untuk kegiatan kehutanan.

3. Kewenangan yang melekat pada organisasi tingkat direktorat jenderal dirasakan terlalu kecil di dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang bersifat kebijaksanaan, terutama dalam melakukan kerjasama dengan instansi lain yang terkait.

4. Hubungan teknis fungsional antara daerah dan pusat, dilakukan melalui Kantor Wilayah Departemen (Pertanian), yang karena berbedanya sifat kegiatan masing-masing sub sektor, menimbulkan kekurangserasian.

5. Keterbatasan untuk mengembangkan sarana personil terjadi, karena terikat pada jumlah formasi untuk tingkat direktorat jenderal.

6. Di samping itu terjadi pula keterbatasan pada unit organisasi, yang secara fungsional bertindak sebagai unsur pengawas.

7. Keseluruhan hambatan tersebut menyebabkan sering timbulnya masalah-masalah yang bersifat non rutin, yang memerlukan pemecahan secara khusus.

Selain itu, untuk mencapai tujuan pembangunan kehutanan diperlukan suatu pangkal tolak dan orientasi dengan cakrawala yang luas serta menyeluruh tentang hutan dan kehutanan, yang dalam pelaksanaannya mencakup aspek pemanfaatan, konservasi sumber daya alam hutan, dan rehabilitasi lahan.

Dari hal-hal tersebut, maka terbentuknya Departemen Kehutanan pada PELITA IV merupakan konsekuensi logis dari tuntutan keadaan dan perkembangan selama itu, dengan demikian wadah baru setingkat departemen tidak akan mampu menampung permasalahan-permasalahan yang beranekaragam. Hal ini sejalan dengan pidato Presiden pada pembentukan Kabinet Pembangunan IV pada tanggal 16 Maret 1983, sebagai berikut:

“Untuk itu dianggap perlu untuk menambah jumlah departemen dengan memecah beberapa departemen yang dinilai ruang lingkup tugasnya perlu memperoleh perhatian yang lebih besar dan harus ditangani lebih intensif dalam PELITA IV nanti“.

Sedangkan dalam pemecahan Departemen Pertanian menjadi Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan, Presiden mengatakan:

“Pemecahan ini perlu, karena dalam PELITA IV nanti di satu pihak terus berusaha untuk meningkatkan produksi pertanian seperti pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan, sedangkan di lain pihak kita harus dapat memanfaatkan kekayaan alam kita yang berupa hutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap dan harus melaksanakan rehabilitasi dan kelestarian hutan“.

Terbentuknya Departemen Kehutanan memang sangat tepat, karena hutan dengan multi fungsinya tidak mungkin ditangani secara baik tanpa wadah yang mandiri. Demikian pula ketiga aspek pembangunan kehutanan (perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan) dapat dilaksanakan secara saling menunjang, sehingga tidak dapat dilaksanakan secara terpisah-pisah oleh berbagai departemen. Melihat pentingnya penanganan ketiga aspek pembangunan kehutanan itu maka eksistensi Departemen Kehutanan memang merupakan suatu kebutuhan yang mendasar sebagai sarana dalam rangka tinggal landas kehutanan.

Untuk dapat menampung tugas dan fungsi pokok tersebut di atas maka sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 1984 Struktur Organisasi Departemen Kehutanan ditetapkan sebagai berikut:

1. Menteri;

2. Sekretariat Jenderal;

3. Inspektorat Jenderal;

4. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan;

5. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan;

6. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam;

7. Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan;

8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan;

9. Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan;

10. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan di Wilayah.

Di samping itu terdapat 12 UPT di lingkungan Departemen Kehutanan dan 24 Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I.

Pembentukan Departemen Kehutanan bukan merupakan restorasi dari Direktorat Jenderal Kehutanan, melainkan merupakan suatu pembangunan institusi kehutanan melalui pengembangan dan pemanfaatan kondisi dan material yang dimiliki. Hal tersebut sekaligus merupakan jawaban atas kondisi dan permasalahan yang dihadapi selama itu, yang antara lain berupa keterbatasan masalah peraturan perundangan, kepemimpinan dan kebijaksanaan, keterbatasan sarana, personil dan lain-lain. Atas dasar kondisi tersebut kemudian ditetapkan kembali tujuan, misi dan tugas pokok serta fungsi Departemen Kehutanan sebagai landasan pelaksanaan pembangunan kehutanan.