Selamat Datang di Blog Seksi Pemolaan Kawasan Hutan - Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah II

Senin, 24 Januari 2011

Palembang, tak lagi berbekas sisa-sisa kejayaan Sriwijaya




Seperti halnya kota-kota besar lainnya di Indonesia, di Palembang lebih menonjol bangunan-bangunan peninggalan Belanda dan kesultanan Islam. Sementara situs-situs peninggalan pra-Islam sudah lenyap, entah
kemana.

Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabag dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.

Sriwijaya

Hingga kini belum juga terlacak kapan sebenarnya cikal bakal Kerajaan Sriwijaya dimulai. Yang jelas, istilah Srivijaya sebagai sebuah kerajaan mulai populer sejak
G. Coedes pada 1918 menuliskan sebuah artikel berjudul 'Le Royaume de Crivijaya'. Lantas, dunia pun ramai menyebut sebuah kerajaan maritim itu sebagai Kerajaan
Sriwijaya. Wilayah kekuasaan Sriwijaya terbentang dari ujung ke ujung Pulau Sumatra, Semenanjung Melayu, hingga Patani (kini Thailand Selatan).

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel, selanjutnya pada 1183 Sriwijaya dibawah kendali Kerajaan Dharmasraya. Dan di akhir masa, kerajaan ini takluk di bawah kerajaan Majapahit.


Sketsa tertua lokasi Kraton Palembang, dibuat pada 1659, sebelum Kraton dan kota Palembang Lama dibakar habis oleh pasukan Belanda.


Pelabuhan Palembang di masa lalu


Gambar kota Palembang tempo doeloe yang dilindungi oleh 3 benteng




Tari gending Sriwijaya yang baru ada sejak 1944
Dan Tarian Tanggai selang beberapa tahun sesudahnya.






Pengantin adat Palembang

Pada Desember 2008 lalu telah berhasil ditemukan 9 gapura kerajaan Sriwijaya yang berada di situs Rimba Candi Kota Pagar Alam. Dari sembilan temuan gapura tersebut baru satu yang telah dilakukan penggalian dan pengumpulan reruntuhan, sedang yang lainnya baru sebatas pembersihan lokasi. Pemerintah Kota Pagar Alam ikut bergabung melakukan pemugaran benda cagar budaya ini.
Kondisi seluruh gapura kerajaan Sriwijaya yang berada di situs Rimba Candi ini dalam keadaan roboh dan ini perlu dilakukan penggalian dan penyusunan kembali. Menyinggung faktor penyebab gapura tersebut roboh, kemungkinan diakibatkan oleh faktor alam seperti gempa, erosi dan sebagainya.
Ciri khas reruntuhan gapura kerajaan Sriwijaya ini pada umumnya bebatuan berbentuk segi lima memanjang dengan tanda cekungan berbentuk oval kedalam di salah satu sisi batu tersebut. Tanda cekungan ini merupakan pengunci agar batu tersebut bisa menempel atau disatukan. Semakin besar kepingan reruntuhan gapura, semakin besar pula tanda pengunci yang berbentuk cekungan tersebut.





Situs Talanjang Gadis






Jembatan Ampera di Palembang, 1972


Jembatan Ampera, 1980


Jembatan Ampera, aikon kota Palembang, di masa kini.


Benteng Kuto Besak di Palembang, bangunan peninggalan Hindia Belanda yang kini dijadikan tangsi militer.

Masjid Agung Palembang merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Palembang. Masjid ini didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo mulai tahun 1738 sampai 1748. Konon masjid ini merupakan bangunan masjid terbesar di Nusantara pada saat itu.









Angkot semacam ini oleh "orang kito galo" disebut taksi. Sedangkan taksi yang kita kenal justru disebutnya "argo". Padahal kenyataannya, taksi berargometer yang ada di Palembang umumnya tidak mau menghidupkan argonya. Mereka maunya borongan. Sungguh mengecewakan. Inilah salah satu kelemahan kota Palembang dalam layanan jasa transportasi, dimana perusahaan-perusahaan taksi tersebut dimonopoli oleh beberapa koperasi milik militer. Apalagi di tahun 2011 ini Palembang akan menjadi tuan rumah Sea Games. Pasti akan bermunculan keluhan di berbagai media massa.


Orang terkadang jijik kalau dengar istilah 'kethek', apalagi 'bubur kethek' alias burket. Dalam istilah resmi Bahasa Indonesia disebut ketiak, orang Jawa menyebutnya dengan istilah kelek. Tapi di Palembang Ketek-Ketek adalah sebutan untuk perahu sebagai alat transportasi di sungai Musi.

Di kota Palembang dulu ada alat transportasi namanya Ketek. Entah apa artinya.


Terminal di Bawah Jembatan Ampera era 70-80an





Tidak ada komentar: